Minggu, 08 Februari 2009

Mangga Nyali






Beberapa hari yang lalu, baru saja kutulis; di kala rinai hujan aku memandangi mangga-mangga yang bergelantungan di pohon manggaku. Eeeeh, mulai hari ini sudah nggak bisa lagi.



Pagi ini, ketika sedang menikmati dinginnya silir angin bersama keluarga, tiba-tiba terdengar orang uluk salam, “Misi, Bu.. Salam Lekooom!" Dengan mengerutkan dahi karena merasa agak terganggu blogwalkingku, maka aku ke kamar tamu dan menjulurkan kepala dari pintu.. Seorang laki-laki setengah baya menengokkan kepalanya di pagar dan dengan berusaha tersenyum ramah dia bertanya, "Bu, mangganya mau dijual?" Hah? Mangga? Aku melihat ke atas, sebetulnya sayang sekali, aku kan mau ngasih tetangga. Dari buku yang kubaca (eh, seperti kata-kata tokoh Helen yang di sinetron. Tapi memang betul, sih) bahwa bila kita mempunyai buah yang menjuntai ke tempat tetangga atau dilihat tetangga, maka tetangga berhak mendapatkan walau sedikit dari buah-buah itu. Namun, karena ada kendala bagaimana mengambil buah-buahan tersebut, maka belum bisa terlaksana.



Mau beli berapa, Pak” tanyaku membuka tawaran
Terserah Ibu mau jual berapa?”, tawarnya balik.
Weleh! Aku kan bukan bakul mangga, dan karena yang lebih piawai dalam bertawar menawar ria adalah Hubby, jadi kuputuskan untuk mengatakan, ”Sebentar, saya bilang suami saya dulu, ya Pak.” dan aku lari ke dalam untuk bilang kepada Masku ”Mas, ada yang mau beli mangga, tuh!”.
Mas yang sedang tiduran di panggung sambil nonton TV menoleh, ”Mau dibeli berapa?”.” "Katanya terserah kita, Mas.” kataku mengingat jawab si penawar mangga tadi. ”Terserah Mama, mau dijual berapa?” tawar suamiku. ”Ah, Papa saja deh, aku kan nggak bisa kaya begini. Biasanya Papa, kan?” ”Ah, mama saja.” ”Nggak, Papa saja deeh,” aku berusaha membujuk, sebetulnya sih alesan originalnya karena males make jilbab, males ngadepin laki-laki lain kalo di rumah, dan males pake aksi saling julur kepala seperti tadi.
Tiba-tiba si Bungsu lewat. “Mas, bilang sama Bapak yang di depan, mau nggak mangganya dihargai seratus ribu?” Eeeh, ternyata si Bungsu magel juga kaya ibunya. Persis!
Akhirnya pilihan jatuh pada Si Sulung yang diam-diam menyelinap ke kamarku dan main internet gantikan aku, :P ” Kak, kalau jadi jualan mangganya, maka uangnya buat Kakak” janji Papanya anak-anak.
Si Sulung yang dasarnya patuh (dan pinter cari keutungan, hihi), melaksanakan sesuai dengan instruksi Komandan.
Setelah, eyel-eyelan, maka Si Sulung keluar dan mengatakan ”Kata Papa saya seratus ribu, Pak”. Ketika ditawar, maka sesuai dengan pesan babenya, si Sulung bersikeukeuh, ” Ya, kalau nggak mau nggak papa, deh, Pak
Menghadapi jurus Tahan Harga warisan Pendekar Kudus yang Jago Nawar, akhirnya si penawar mangga menyerah.
Eh, si Penawar memberikan panjer, lho, ke anakku. So, jadilah kami jualan mangga hasil kebun sendiri..
Sesuai janji, maka uang panjer dan kelak sisanya akan menjadi milik si Sulung. (seratus ribu! Senengnya dia. Rasanya sudah hasil kerjanya aja, deh). Hehehe..

So, moral of my hubby’s decision is :” Siapa yang berani nyali, maka doi yang dapat duit hasil jualan mangga,” hahaha…
Masa siiih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar