”Terserah Ibu mau jual berapa?”, tawarnya balik.
Weleh! Aku kan bukan bakul mangga, dan karena yang lebih piawai dalam bertawar menawar ria adalah Hubby, jadi kuputuskan untuk mengatakan, ”Sebentar, saya bilang suami saya dulu, ya Pak.” dan aku lari ke dalam untuk bilang kepada Masku ”Mas, ada yang mau beli mangga, tuh!”.
Mas yang sedang tiduran di panggung sambil nonton TV menoleh, ”Mau dibeli berapa?”.” "Katanya terserah kita, Mas.” kataku mengingat jawab si penawar mangga tadi. ”Terserah Mama, mau dijual berapa?” tawar suamiku. ”Ah, Papa saja deh, aku kan nggak bisa kaya begini. Biasanya Papa, kan?” ”Ah, mama saja.” ”Nggak, Papa saja deeh,” aku berusaha membujuk, sebetulnya sih alesan originalnya karena males make jilbab, males ngadepin laki-laki lain kalo di rumah, dan males pake aksi saling julur kepala seperti tadi.
Tiba-tiba si Bungsu lewat. “Mas, bilang sama Bapak yang di depan, mau nggak mangganya dihargai seratus ribu?” Eeeh, ternyata si Bungsu magel juga kaya ibunya. Persis!
Si Sulung yang dasarnya patuh (dan pinter cari keutungan, hihi), melaksanakan sesuai dengan instruksi Komandan.
Setelah, eyel-eyelan, maka Si Sulung keluar dan mengatakan ”Kata Papa saya seratus ribu, Pak”. Ketika ditawar, maka sesuai dengan pesan babenya, si Sulung bersikeukeuh, ” Ya, kalau nggak mau nggak papa, deh, Pak”
Menghadapi jurus Tahan Harga warisan Pendekar Kudus yang Jago Nawar, akhirnya si penawar mangga menyerah.
Sesuai janji, maka uang panjer dan kelak sisanya akan menjadi milik si Sulung. (seratus ribu! Senengnya dia. Rasanya sudah hasil kerjanya aja, deh). Hehehe..
So, moral of my hubby’s decision is :” Siapa yang berani nyali, maka doi yang dapat duit hasil jualan mangga,” hahaha…
Masa siiih?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar